Penulis : Adhie/ Sekretaris Relawan Sahabat Turki/Peneliti
Garis Merah- Meritokrasi atau sistem merit dalam tata kelola birokrasi yang ditawarkan pemerintahan Iqbal-Dinda sudah sepatutnya diapresiasi oleh para pihak terutama bagi para ASN (Aparur Sipil Negara) di lingkup Pemprov Nusa Tenggara Barat. Sebab dengan diterapkannya meritokrasi dalam tata kelola birokrasi, setidaknya dapat memberikan ruang bagi ASN muda untuk berkompetisi dan berinovasi dalam melakukan penataan birokrasi, ungkap adhie dalam rilisnya.
Prinsip meritokrasi merupakan amanah dari UU Aparatur Sipil Negara dan hadir sebagai landasan kebijakan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur dalam proses rekrutmen pengisian jabatan di birokrasi. Prinsip ini merupakan kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja. Singkatnya, meritokrasi didasarkan pada prinsip kesempatan yang sama bagi ASN dalam pengisian jabatan.
Meritokrasi sesungguhnya bukan hal yang baru, dikarenakan di era Dinasti Qin dan Han (221 SM - 206 SM) praktek penerapan prinsip meritokrasi atau merit sistem ini dijadikan sebagai solusi dalam tata kelola birokrasi yang begitu kompleks sehingga dalam perkembangannya, sistem ini juga di akomudir di dalam UU No. 4 Tahun 2014 Tentang ASN yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2023 Tentang ASN. Yang di dalam Psal 1 Angka 15 jo Pasal 26 Ayat (2) huruf d yang mensiratkan jika dalam tata kelola birokrasi diterapkan berdasarkan prinsip meritokrasi yakni dalam pengelolaan sumber daya ASN, didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, potensi, dan kinerja, serta integritas dan moralitas yang dilaksanakan secara adil dan wajar.
Dengan hadirnya wacana meritokrasi di era pemerintahan Iqbal-Dinda selain menjadi solusi dalam tata kelola birokrasi juga menjadi magnet dan spirite kebaruan bagi ASN di lingkup Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan kata lain, penerapan prinsip meritokrasi yang “adil dan wajar” dalam pengisian dan pengelolaan birokrasi, akan menumbuhkan semangat ke-ASN-an yang hampir pudar. Sebab, kompetensi, keahlian, profesionalisme menjadi alat ukur dan pertimbangan utama bagi pemeimpin daerah dalam pengisian struktur organisasi pemerintahan NTB.
Sehingga kesan jika “orang-orang itu saja” yang menempati jabatan dibirokrasi akan hilang dan diganti oleh mereka-mereka (ASN) yang benar-benar professional. Hal ini disebabkan karena di dalam prinsip meritokrasi ini juga menganut prinsip proporsional atau berimbang. Yang mana penghargaan dan penghukuman bagi ASN akan diterapkan secara “adil dan wajar”.
Sebagai contoh, bagi ASN yang terlibat aktif dalam politik praktis tentu dapat dikualifikasi sebagai ASN yang tidak memahami tugas dan fungsinya sebagai ASN mengingat pelibatan ASN dalam politik peraktis yaitu memberikan dukungan secara terang-terangan kebada papol maupun calon tertentu, jelas merupakan larangan bagi ASN sehingga layak diberikan penghukuman (punishment) secara “adil dan wajar”, yakni dengan tidak memberikan ruang untuk proses promosi jabatan (non job).
Sebaliknya bagi ASN yang professional, berprestasi dan berinovasi serta menjaga nama baik ASN sebagaimana prinsip yang berlaku, maka sangat “adil dan wajar” apabila diberikan pengharagaan baik melalui promosi jabatan maupun memberikan pengharagan-penghargaan lainnya atas dedikasinya.
Contoh lain juga misalnya ungkap Adhie, terkait hal-hal bukan lagi menjadi rahasia umum yang mana di dalam lingkup pejabat pengadaan, khususnya dalam menetapkan siapa sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah tidak jarang apabila barometer seseorang tersebut sebagai PPK diukur berdasarkan adanya irisan kekerabatan, politik dan kemudahan “main mata”,
Konsekuensinya tidak jarang apabila praktek semacam itu berpotensi menjadi sarang dan bahkan mesin KKN (Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme) dan tidak jarang, pola semacam ini dapat berdampak pada proses pelaksanaan kegiatan yang mangkrak, tidak tepat waktu dan menjadi temuan. Sehingga praktek-praktik semacam ini bukanlah tempatnya pemimpin yang mengedapnkan prinsip “meritokrasi”.
Berangkat dari prinsip meritokrasi tersebut, maka sudah sangat tepat apa yang dikemukakan oleh Iqbal-Dinda pada setiap kesempatan yang mana tawaran tiga pilar program prioritas yakni pengentasan kemiskinan ekstrim, mendorong ekosistem-ekosistem industri berbasis pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan serta mendorong terciptanya Ekosistem wisata melalui konsep MICE (Meeting, Insentive, Convensi, Event), tidak akan terwujud apabila hal tersebut tidak dimulai dari pembenahan internal birokrasi melalui penerapan prinsip merit sistem atau meritokrasi yang dalam praktenya telah di terapkan di era Dinasti Qin dan Han (221 SM - 206 SM).
0 Komentar